Aturan Baru Ini Mewajibkan Sekolah Menerapkan Mata Pelajaran Coding dan AI, Memang Gurunya Bisa?
Daftar isi:
Pemerintah kembali menggulirkan kebijakan terbaru yang cukup menyita perhatian kalangan pendidik. Dalam revisi kurikulum terbaru, terdapat aturan yang mewajibkan sekolah baik di tingkat dasar maupun menengah untuk mulai menerapkan mata pelajaran coding dan Artificial Intelligence (AI) secara bertahap. Tujuannya tentu mulia: menyiapkan generasi muda Indonesia agar tak tertinggal di era teknologi. Namun, satu pertanyaan besar mengemuka: Apakah para guru siap?
Coding dan AI Jadi Mata Pelajaran Wajib
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) resmi mengumumkan bahwa mulai tahun ajaran 2025/2026, seluruh satuan pendidikan wajib mengintegrasikan literasi digital tingkat lanjut ke dalam kurikulum. Ini termasuk pemrograman dasar (coding) serta pengenalan kecerdasan buatan (AI).
Regulasi ini ditegaskan dalam Permendikbudristek Nomor 13 Tahun 2025 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. Dalam lampirannya, disebutkan bahwa siswa kelas 4 SD hingga kelas 12 SMA/SMK akan mendapat materi seputar logika algoritma, pemrograman dasar, serta aplikasi AI dalam kehidupan sehari-hari.
Kebijakan ini diambil sebagai respons atas perubahan cepat dalam dunia kerja yang kini semakin terdigitalisasi. Banyak pekerjaan lama akan tergantikan oleh teknologi otomatisasi dan kecerdasan buatan. Oleh karena itu, penguasaan coding dan AI tak lagi sekadar nilai tambah, tetapi sudah menjadi kebutuhan dasar.
Antara Visi Besar dan Realita Lapangan
Walau tujuannya tak bisa disangkal, pertanyaan mendasar tetap menggelayut: apakah semua sekolah siap? Terutama, apakah para guru mampu mengampu pelajaran ini secara efektif?
Berdasarkan data Kemdikbud, hingga akhir 2024, hanya sekitar 12% guru di seluruh Indonesia yang memiliki pemahaman dasar tentang pemrograman komputer. Sementara itu, pelatihan formal tentang AI baru menjangkau sekitar 4% dari total guru aktif.
Masalah tak berhenti di kompetensi individu. Banyak sekolah — terutama di daerah tertinggal — masih berjuang memenuhi infrastruktur dasar seperti akses internet stabil, komputer layak pakai, bahkan listrik yang memadai.
Dengan kondisi tersebut, wajar bila sebagian kalangan mempertanyakan kesiapan sistem pendidikan Indonesia untuk menjalankan aturan ini.
Tantangan Serius di Tingkat Guru
Para guru adalah garda terdepan dalam implementasi kebijakan ini. Namun, hingga kini, belum banyak lembaga pelatihan guru yang menawarkan program sertifikasi coding dan AI secara sistematis. Kalaupun ada, kebanyakan masih terpusat di kota-kota besar dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Di sisi lain, banyak guru juga merasa terbebani dengan kurikulum yang terus berubah. Seorang guru SMP di daerah Jawa Tengah, misalnya, mengaku masih harus mengejar pemahaman literasi digital dasar sebelum bisa mengajarkan coding kepada siswa.
“Kalau hanya pakai komputer dan aplikasi Word atau Excel, kami masih bisa. Tapi kalau sudah masuk ke HTML, Python, atau logika algoritma, jujur kami belum paham,” ujarnya.
Peluang Pelatihan dan Kolaborasi
Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, pemerintah mengandalkan dua pendekatan: pelatihan guru secara bertahap dan kolaborasi dengan sektor swasta.
Melalui program Guru Belajar dan Berbagi serta Platform Merdeka Mengajar, Kemendikbudristek akan mulai menyediakan modul pembelajaran coding dan AI yang dapat diakses secara gratis. Guru-guru diharapkan bisa belajar mandiri dan menerapkan modul itu di kelas.
Selain itu, pemerintah juga menggandeng perusahaan teknologi seperti Google, Microsoft, dan beberapa startup edutech lokal untuk menyediakan pelatihan bersertifikat bagi guru dan siswa. Bahkan, sudah mulai dirancang program “Coding Masuk Desa” yang akan menyasar sekolah-sekolah di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
SMK Jadi Percontohan, SD dan SMP Menyusul
Untuk tahap awal, kebijakan ini akan difokuskan terlebih dahulu pada sekolah menengah kejuruan (SMK). Alasannya, SMK memiliki basis keterampilan teknis yang lebih kuat, serta sumber daya yang relatif lebih siap dibanding sekolah dasar.
Namun, bagi SD dan SMP, pendekatan yang diambil lebih bersifat pengenalan dan literasi dasar. Artinya, siswa tidak langsung diajarkan menulis kode program, melainkan diperkenalkan pada cara kerja logika komputer, algoritma sederhana, serta dampak positif dan negatif teknologi AI.
“Tujuannya bukan mencetak semua anak jadi programmer, tapi agar mereka memahami bagaimana dunia digital bekerja. Ini bagian dari membangun generasi yang tech-savvy, bukan cuma tech-consumer,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam konferensi pers awal Juli 2025 lalu.
Penutup
Kewajiban memasukkan pelajaran coding dan AI ke dalam kurikulum adalah langkah besar yang patut diapresiasi. Meski belum semua guru siap, peluang belajar dan kolaborasi terbuka lebar. Yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen semua pihak untuk berjalan bersama, bukan saling menyalahkan.
Satu hal yang pasti, masa depan anak-anak Indonesia tak bisa ditunda. Dan teknologi, suka atau tidak, adalah bagian dari masa depan itu.
Link resmi Permendikbudristek Nomor 13 Tahun 2025:
https://jdih.kemendikbudristek.go.id
Gabung ke Channel Whatsapp Untuk Informasi Sekolah dan Tunjangan Guru
GABUNG